Entri Populer

Selasa, 26 November 2013

HUBUNGAN SAINS DAN ISLAM



HUBUNGAN SAINS DAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF NORMATIF DAN FILOSOFIS
I.     PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Islam dan Sains, dua kata berbeda yang mempunyai makna berbeda pula. Islam yang berasal dari kata "salama" berarti mengandung selamat dan penyerahan diri secara penuh pada syariatnya. Sedangkan sains yang merupakan bagian dari 'ilm dapat dipahami sebagai ilmu alam yang dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam sains sebagian orang menganggap pembuktian kebenaran itu harus dapat dilakukan dengan metodologi yang sistematis, maka sebagian yang lain memahami bahwa agama atau Islam kebenarannya adalah berdasar pada keyakinan adanya sang Ghaib yang "mengada" segala sesuatu yang "ada" di dunia ini.[1]
Sains dalam formulasi tauhid, termasuk ke dalam narasi kalimat seperti berikut: “Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui berbagai cara dan jalan. Tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan yang Maha mengetahui.[2]
Islam memandang pengetahuan sebagai cara yang paling utama bagi penyelamatan jiwa dan pencapaian kebahagiaan serta kesejahteraan manusia dalam kehidupan kini dan nanti. Dalam pengertian yang sederhana, tauhid berarti keesaan tuhan. Tauhid merupakan formulasi kepercayaan atau keyakinan tentang Tuhan yang tunggal pada berbagai aspek dan dimensinya.[3]
1.2  Rumusan masalah
  1. Apakah pengertian Tauhid menurut Islam?
  2. Bagaimana hubungan Sains dan Islam berdasarkan persfektif Normatif?
  3. Bagaimana hubungan Sains dan Islam berdasarkan perspektif Filosofis?

II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tauhid Menurut Islam
            Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas pengokohan keyakinan-keyakinan agama Islam dengan dalil-dalil naqli maupun aqli yang pasti kebenarannya sehingga dapat menghilangkan semua keraguan atau ilmu yan di sebut tentang mengESAkan Allah.
            Tauhid merupakan formulasi kepercayaan atau keyakinan tentang Tuhan yang tunggal pada berbagai aspek dan dimensinya. Dengan tauhid, timbul pengakuan, bahwa Allah Maha Pencipta segalanya. Tauhid mendorong manusia untuk menguasai dan memanfaatkan alam karena sudah dituntukkan untuk manusia. Perintah mengesakan Tuhan dibarengi dengan cegahan mempersekutukan Tuhan. Jika manusia mempersekutukan Tuhan, berarti ia dikuasai oleh alam, padahal manusia adalah yang harus menguasai alam karena alam telah ditundukkan oleh Allah. [4]
            Dalam disiplin keilmuan tradisional Islam, tauhid berada dalam posisi sejajar dengan fikih, tasawuf dan falsafah.[5] Tauhid bersama fikih, tasawuf dan falsafah berkembang menjadi empat pilar keilmuan yang diakui sebagai aspek tak terpisahkan dari keberadaan Islam sebabagi sistem ajaran. Kehadiran secara bersama empat pilar keilmuan tersebut memungkingkan terbentuknya tatanan kehidupan yang menjujung tinggi etika. Jika ahlaq al-karimah merupakan “mahkota” dalam  humanisme Islam. [6] Maka tauhid, fikih, tasawuf dan falsafah merupakan pilar penyanggah terwujudkan ahlaq al-karimah. Namun telaah secara saksama membawa kita pada kesimpulan, bahwa tauhid justru yang berperan besar sebagai landasan pijak perkembangan berbagai disiplin keilmuan tradisional Islam. Bahkan, tauhid merupakan faktor penentu perkembangan sains di dunia Islam selama sekitar abad ke-7 hingga abad ke-13.
Dalam pengertiannya yang sederhana, “tauhid” berarti keesaan Tuhan. Tauhid merupakan formulasi kepercayaan atau keyakinan tentang Tuhan yang tunggal pada berbagai aspek dan dimensinya. Tauhid memiliki kesamaan makna dengan monoteisme.[7] Maka, sesuatu yang benar-benar doktrinal dalam ajaran Islam ialah Tuhan dalam kategori oneness, uniqueness dan transcendence. Secara demikian, Tuhan merupakan eksistensi yang berbeda dengan segala bentuk eksistensi yang dapat dikenal atau dapat diimajinasikan manusia. Allah Maha Besar (Allahu Akbar), misalnya, merupakan konsepsi tentang Tuhan yang indefinite atau yang tak terbatas kebesarannya serta tak dapat ditandingi oleh kedahsyatan benda, materi atau wujud apa pun dalam realitas hidup manusia. Dengan tauhid, timbul pengakuan, bahwa Allah Maha Pencipta segalanya. Begitu artikulatifnya monoteisme dalam ajaran Islam, sampai-sampai muncul konstatasi dalam Al Qur’an, bahwa sesungguhnya “manusia menurut fitrahnya beragama tauhid” (Q.S. [Ar-Rum] 30:30).
Konsekuensi dari tauhid adalah bahwa manusia harus menguasai alam dan haram tunduk kepada alam. Menguasai alam berarti menguasai hukum alam dan dari hukum alam ini, ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan.[8]

2.2 Hubungan Sains Dan Islam Dalam Perspektif Normatif
            Islam dan Sains, dua kata berbeda yang mempunyai makna berbeda pula. Islam yang berasal dari kata "salama" berarti mengandung selamat dan penyerahan diri secara penuh pada syariatnya. Sedangkan sains yang merupakan bagian dari 'ilm dapat dipahami sebagai ilmu alam yang dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam sains sebagian orang menganggap pembuktian kebenaran itu harus dapat dilakukan dengan metodologi yang sistematis, maka sebagian yang lain memahami bahwa agama atau Islam kebenarannya adalah berdasar pada keyakinan adanya sang Ghaib yang "mengada" segala sesuatu yang "ada" di dunia ini.
            Hal dasar yang kemudian menarik ditelaah sebagai konsekuensi logis dari ajaran tauhid ialah perkembangan sains, sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah Islam selama kurun waktu abad ke-7 hingga abad ke-13. Dengan berpijak pada perspektif tauhid, dinamika perkembangan Islam selama kurun waktu tersebut benar-benar diwarnai oleh besarnya perhatian terhadap sains. Bagaimana ajaran tauhid memiliki hubungan yang niscaya dengan perkembangan dan kamajuan sains, semuanya kembali pada hakikat tauhid itu sendiri. Bahwa dengan tauhid, terbentuk pandangan dunia (Weltanschauung) manusia yang menempatkan segenap hal ihwal di luar Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang serba nisbi dan tak abadi. Kalimah La ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) memang merupakan pernyataan tauhid yang singkat, namun maknanya mendalam dan memiliki dampak sosial-politik yang sangat dinamis dan progresif. Melalui kalimah tauhid ini, semua bentuk dan jenis kekuasaan apa pun di muka bumi haruslah dinegasikan. Hanya Allah, Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak; selain-Nya bersifat nisbi. [9]
            Dari sini, alam semesta lalu dimengerti berdasarkan perspektif metafisika yang begitu spesifik, yaitu sebagai realitas yang relatif, dan karena itu dapat diberlakukan sebagai bentangan ontologis untuk melakukan observasi, eksperimentasi, penelitian dan bahkan menjadi basis untuk membangun serangkaian hipotesis. Mengingat alam semesta bukan sesuatu yang suci—dibandingkan kesucian Tuhan sebagaimana ditekankan dalam ajaran tauhid—maka alam semesta dengan mudahnya “diotak-atik” sebagai dasar untuk membangun dan atau menciptakan ilmu pengetahuan. Dengan tauhid, tak ada kendala teologis untuk menyingkapkan hakikat alam semesta.
            Tauhid sebagai landasan pijak pengembangan sains dapat dilacak geneologinya pada terbentuknya konsepsi tentang Tuhan dalam pengertian yang spesifik. Bahwa Tuhan adalah pengetahuan tentang alam semesta sebagai salah satu efek tindak kreatif Ilahi.[10] Pengetahuan tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, antara Pencipta dan ciptaan, atau antara prinsip Ilahi dengan manifestasi kosmik, merupakan basis paling fundamental dari kesatuan antara sains dan pengetahuan spiritual. Berilmu pengetahuan menurut Islam lalu sama dan sebangun maknanya dengan: (i) Menyatakan ketertundukan pada tauhid, dan (ii) elaborasi pemahaman secara saitifik terhadap dimensi-dimensi kosmik alam semesta. Itulah mengapa, Al Qur’an kemudian berperan sebagai sumber intelektualitas dan spiritualitas Islam.[11] Al Qur’an berfungsi sebagai basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual, tetapi bagi semua jenis pengetahuan. Al Qur’an sebagai kalam Allah merupakan sumber utama inspirasi pandangan Muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spiritual.[12] Gagasan keterpaduan ini bahkan merupakan konsekuensi dari gagasan keterpaduan semua jenis pengetahuan. [13]
            Sains dalam formulasi tauhid, termaktub ke dalam narasi kalimat seperti berikut: “Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui berbagai cara dan jalan. Tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan yang Maha mengetahui. Menurut pandangan Al Qur’an, pengetahuan manusia tentang benda-benda maupun hal-hal ruhaniah menjadi mungkin karena Tuhan telah memberinya fakultas-fakultas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Banyak filosof dan ilmuwan Muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari akal Ilahi”.[14] Sains dalam formulasi tauhid yang sedemikian rupa itu menegaskan satu hal, bahwa ilmu pengetahuan, filsafat dan berbagai hal yang terkait dengan semua itu sesunguhnya berada di wilayah Ketuhanan. Manusia takkan mampu menguasai semua itu jika dan bilamana tak ada kehendak untuk masuk ke dalam wilayah Ketuhanan. Dan hanya dengan tauhid manusia mampu menyentuh, mengetuk serta masuk ke dalam wilayah Ketuhanan yang di dalamnya terdapat khazanah ilmu yang tak terbatas (Q.S. [Thaahaa] 20: 114).
            Berkenaan dengan ilmu pengetahuan yang berada di wilayah Ketuhanan, Nasr (1997) menggunakan  istilah yang tepat: scientia sacra. Istilah ini digunakan untuk mengingatkan bahaya desakralisasi yang sedemikian jauh menghantam dan memporak-porandakan ilmu pengetahuan.[15] Desakralisasi dapat disimak ke dalam perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan, yaitu sejak sekitar permulaan abad ke-17. Padahal, sampai kapanpun, sains tetap bersemayam di dalam wilayah Ketuhanan. Persis sebagaimana termaktub ke dalam ajaran tauhid, hanya Tuhan yang merupakan sumber lahirnya ilmu pengetahuan. Siapa pun manusia, memang memiliki kebebasan untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan apa pun serta mengembangkan sains apa pun. Tetapi manakala tak mendaptkan restu dari Tuhan, maka upaya memahami ilmu pengetahuan dan sains bakal melalui jalan berliku yang rumit. Upaya saksama memelihara tauhid, dengan sendirinya merupakan kehendak untuk menjaga agar manusia terus-menerus berilmu pengetahuan.
            Tauhid sebagai sumber kelahiran sains lalu memiliki makna yang dalam untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran akibat kemajuan sains itu sendiri. Jalan manusia untuk menggapai ilmu pengetahuan dimulai dari adanya pengakuan bahwa niscaya bagi manusia untuk mengakui adanya yang absolut.[16] Scientia sacra membawa manusia pada kebebasan dari semua kunkungan. Sebab, Yang Suci itu tidak lain adalah Tak Terbatas dan Abadi. Sementara, semua kungkungan dihasilkan dari kelalaian yang mewarnai realitas akhir dan tak dapat direduksi menjadi keadaan kosong sama sekali dari kebenaran.[17]
            Hubungan antara sains dalam perspektif Islam yaitu Islam memberi kebebasan kepada para sainistik untuk mengkaji. Sains Islam menjadikan wahyu sebagai sumber rujukan yang tertinggi. Dalam etika yang lain, dalam Islam, wahyu mengatasi akal karena wahyu datang daripada kuasa tanpa batas sedangkan akal terbatas, dan sains tidak boleh mengatasi wahyu. Oleh karena itu, sains dalam Islam adalah sains yang berkonsepkan tauhid. Sains dalam Islam tunduk kepada prinsip-prinsip yang ditetapkan Allah melalui rasulnya. Sains dalam Islam tunduk kepada al-Quran.[18]
            Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa hubungan sains dan Islam dalam perspektif normatif  adalah Islam sebagai sumber dari ilmu pengetahuan. Al-Qur’an dijadikan landasan dan pedoaman dalam pengembangan sains. Sains membuktikan kebenaran yang ada dalam Al-Quran. Islam tidak pernah mengekang umatnya dalam kemajuan kearah yang lebih modern. Islam sangat mendukung umatnya melakukan penelitian, percobaan dan memerintahkan manusia memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah.
            “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-si. Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. QS. Ali-Imran: 190-191).
            Melalui ayat-ayat di atas Allah memerintahkan kita manusia untuk mengembangkan, mengali, mengamati, apa yang ada di alam semesta ini. Al-Quran dan Sains yang sejalan dan searah tentu dapat dijadikan pedoman bagi manusia.

2.3 Hubungan Sains dan Islam Dalam Perspektif Filosofis
            Kebenaran itu telah ada sebelum manusia ada. Sebab kebenaran sendiri berada di luar alam manusia. Kebenaran itu suatu ensensi, suatu hakikat, suatu ide yang mendahului manusia yang membutuhkannya. Memang dalam pendekatan sejarah peradaban Barat diakui, kaum filsuf dinilai sebagai pelopor pencari kebenaran. Kaum filsuf ditempatkan pada kedudukan sebagai sosok yang cinta (philosphilre) kebenaran (Sophia). Kebenaran yang dihasilkan oleh para filsuf adalah kebenaran yang didasarkan pada penilaian menurut nalar manusia.[19]
            Dalam kajian filsafat, umumnya ada tiga teori yang digunakan, yaitu teori keherensi, teori korespondasi, dan teori pragmatis. (Suriasumantri,1990). Sebelumnya sudah di kemukakan ketiga teori ini memiliki pandangan-pandangannya kepada sebab-sebab terdekat, melainkan kepada mengapanya yang terakhir, sepanjang kemampuan yang ada dapat dicapai oleh akal budi manusia. (Barbadib,1994). Karakteristik pemikiran filsafat yang bersifat menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. (Suriasumantri,1990). Semuanya ini melukiskan faktor keterbatasan kemampuan akal budi (rasio) manusia. Maka wajar bila kebenaran filsafat bersifat spekulatif.[20]
            Dalam tradisi keilmuan barat, memang “perseteruan” antara filsafat dan agama, sudah berlangsung cukup lama. Sejak zaman Yunani Kuno, filsafat berbenturan dengan tradisi mitologi. Pada Abad Pertengahan, para filsuf dihadapkan pada nilai-nilai dogmatis gereja. Kasus yang dialami Galileo Galilei (1564-1642) adalah bagian dari benturan pemikiran filsafat dan dogmatis teologis. Teori heliosentris yang dikemukakan Galileo Galilei dinilai bertentangan dengan pendapat gereja yang menganut teori ptolemaeus, yaitu bahwa bumi adalah pusat jagad. Galilei dihukum tahanan rumah hingga akhir hidupnya.[21]
            Ajaran Islam sarat akan nilai-nilai ajaran yang bersumber informasi Kitab Suci Al-Qur’an, maupun pernyataan dalam sabda Rasul Allah Saw. Jadi sebenarnya, problema pelik kefilsafatan maupun keilmuan yang dihadapi ilmuan Barat, sama sekali tidak terjadi di kalangan filsuf maupun ilmuan Muslim. Aktivitas rasio dengan nilai-nilai ajaran berjalan seiring. Malahan nilai-nilai ajaran agama memotivasi pengembangan aktivitas manusia. Alam Islam hakikat kebenaran tidak dirujuk dari produk akal manusia, melainkan dari sumber wahyu.
            Apa yang dikemukakan oleh Toshihiko Izutsu oleh ilmuwan Muslim dikenal sebagai ayat-ayat Qur’aniyah dan ayat-ayat Kauniyah. Di sini terlihat, bahwa sesungguhnya pemikiran filsafat terlihat sejalan dengan pemikiran agama. Keduanya tidak perlu di pertentangkan. Pemikiran filsafat mengarah pada perenungan wujud ciptaan Tuhan yang ada di alam (ayat non-verbal), sedangkan agama mengacu kepada perenungan terhadap ayat-ayat Tuhan yang verbal (kalam Allah), dan sekaligus yang non-verbal (wujud ciptaan di alam raya). Keduanya menyatu pada perenungan terhadap hakikat kebenaran yang bersumber dari Sang Maha Pencipta.[22]
            Filsafat sering disebut sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan berasal dan berkembangan dari filsafat. Sebelum ilmu pengetahuan lahir filsafat telah memberikan landasannya yang kuat. Para filsuf Yunani klasik seperti Demokratis sampai tiga serangkai guru dan murid yang sangat terkenal Socretes, Plato, dan Aristoteles telah berbicara tentang atom, naluri, emunisi, bilangan dan ilmu hitung (matematika), demokrasi, sistem pemerintahanan dan kemasyarakat, yang kemudian dikembangan oleh fisika, biologi, ilmu budaya, psikologi, sosiologi, dan ilmu politik.
            Kedudukan filsafat dan hubunganya dengan ilmu pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut: [23]
  1. Tujuan filsafat untuk memahami hakikat dari sesuatu objek yang menjadi kajiannya tetap dipertahankan, tetapi inforrmasi atau pengetahuan yang menunjangnya harus dipertanggungjawabkan bukan hanya rasional (logis), tetapi juga secara faktual (dialami secara langsung dalam kehidupan nyata). Oleh sebab itu, filsafat (harus) mengadakan kontak dengan ilmu pengatahuan, mengambil banyak informasi atau teori-teori terbaru darinya,dan mengembangkan secara filsafati.
  2. Tujuan filsafat untuk mempersoalkan nilai dari suatu objek (aksiologi) tetap dipertahankan. Hal  ini pun dilakukan filsafat terhadap ilmu pengatahuan. Akibatnya adalah bahwa temuan-temuan ilmiah yang dinilai tidak sesuai denagn nilai-nilai  kemanusian (dan juga ketuhanan), diberi kritik atau dikoreksi.
  3. Filsafat pun melakukan kajian dan kritik terhadap persoalan-persoalan metodologi ilmu pengetahuan. Ini misalnya dilakukan dalam filsafat ilmu pengatahuan.
Antara filsafat dan ilmu memiliki persamaan, dalam hal bahwa keduanya merupakan hasil ciptaan dan kegiatan pikiran manusia yaitu berpikir filosofis, spekulatif, dan empiris ilmiah. Perbedaan antara keduanya, terutama untuk filsafat menentukan tujuan hidup dan ilmu menentukan sarana untuk hidup.[24]
            Sejarah umat manusia sesungguhnya tidak pernah sunyi dari para pencari tuhan. Dengan dorongan sifat fitri keimanan (religionitas), umat manusia melakukan pencarian tuhan yang sebenarnya. Bagi sebagaian orang, agama memang menjadi jawaban. Namun demikian, sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun silam, dunia telah diramaikan oleh para filsuf yang selalu terlibat dalam diskursus ketuhanan (teologi), bahkan dalam wacana asal-usul alam semesta (ontologi) dan ilmu pengetahuan (epistemologi).
            Manusia menjalani liku-liku perjalanan dalam upaya mencari tuhan. Sebagian besar dari mereka benar-benar menemukan tuhan. Akan tetapi, sebagian lainnya terlena dalam igauan yang tak jelas ketika mencoba memaksakan diri untuk menjangkau esensi tuhan yang sesungguhnya. Mereka terlalu jauh mengembara di belantara metafisisme, sehingga tak sedikit yang masuk ke dalam perangkat skeptisime, bahkan ateisme. Menurut al-Jisr (2001) dalam konteks agama sikap ini tentu saja kontraproduktif, sekaligus kontraproduktif dengan semangat keagamaan yang selalu memerintahkan manusia untuk memikirkan hal-hal yang indrawi dan rasional ketika berbicara tentang eksistensi, bukan esensi tuhan sebagai pencipta (al-khaliq).[25]
            Namun demikian, kontribusi filsafat dan ilmu dalam mengantarkan keimanan kepada tuhan bukannya tidak ada. Dalam batas-batas tertentu, filsafat dan ilmu biasa mendukung berbagai bukti kebenaran eksistensi dan kekuasaan dan kekuasaan tuhan yang telah banyak diungkap oleh agama.
           
           
           






III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Tauhid adalah ilmu yang membahas keyakinan-keyakinan yang di anut oleh suatu umat dan keyakinan tentang Tuhan yang tunggal pada berbagai aspek dan dimensinya. Ajaran tauhid memiliki hubungan dengan perkembangan dan kamajuan sains, bahwa dengan tauhid terbentuk pandangan dunia (Weltanschauung) manusia yang menempatkan segenap hal ihwal di luar Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang serba nisbi dan tak abadi. Tauhid sebagai landasan pijak untuk memajukan sains masih mungkin dilakukan umat Islam kini dan di masa depan.
            Ajaran Islam sarat akan nilai-nilai ajaran yang bersumber informasi Kitab Suci Al-Qur’an, maupun pernyataan dalam sabda Rasul Allah Saw. Jadi sebenarnya, problema pelik kefilsafatan maupun keilmuan yang dihadapi ilmuan Barat, sama sekali tidak terjadi di kalangan filsuf maupun ilmuan Muslim. Aktivitas rasio dengan nilai-nilai ajaran berjalan seiring. Malahan nilai-nilai ajaran agama memotivasi pengembangan aktivitas manusia. Alam Islam hakikat kebenaran tidak dirujuk dari produk akal manusia, melainkan dari sumber wahyu.
            Filsafat sering disebut sebagai induk dari semua ilmu pengtahuan. Sejarah ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan berasal dan berkembangan dari filsafat. Sebelum ilmu pengetahuan lahir filsafat telah memberikan landasannya yang kuat. Kontribusi filsafat dan ilmu dalam mengantarkan keimanan kepada tuhan bukannya tidak ada. Dalam batas-batas tertentu, filsafat dan ilmu biasa mendukung berbagai bukti kebenaran eksistensi dan kekuasaan dan kekuasaan tuhan yang telah banyak diungkap oleh agama.
           
           
           






DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. (2004). Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama. Yogyakarta: SUKA Press.
Abidin, Z. (2011). Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Press.
Baiquni, A. (1995). AL-Qur'an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Jalaludin. (2003). Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jalaludin. (2011). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Jisr, A. (2001). Para Pencari Tuhan:Dialog Al-Quran dalam Filsafat, Filsafat dan Sains dalam Bingkai Keimanan. Bandung: Pustaka Hidayah.
Madjid, N. (1995). Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Keislaman, Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Nasr, S. H. (1997). Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. terjemahan Suharsono, dkk. dari judul asli Knowledge and th Cecerd.
Purwanto, A. (2008). Ayat-ayat Semesta:Sisi-sisi Al-Qur'an yang Trelupakan. Bandung: Mizan.
Rahman, F. (1999). Major Themes of the Qur'an. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Siroj, S. A. (2006). Tasawuf sebagai Kritik Sosial:Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi,Bukan spirasiA. Bandung : Mizan.
Susanto. (2011). Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.
Syari'ati, A. (1992). Humanisme: Antara Islam dan Mahzab Barat. Jakarta: Pustaka Hidayah. terj. Afif Muhammad dari judul asli Al-Insan, aL-Islam wa Madaris Al-Gharb.





[1] Osman Bakar, Tauhid Dan Sains, (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1991), hal. 74
[2] Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006), hal. 59
[3] Op.Cit, Osman Bakar, hal. 75
[4] Ibid, hal. 75
[5] Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusian, Dan Kemodernan, (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, Cetakan Ke-3, 1995), hal. 177-285
[6] Ali Syari’ati, Humanisme: Antara Islam Dan Mahzab Barat, (Jakarta: Pustaka Hidayah,1992) terj. Afif Muhammad dari judul asli Al-Insan, Al-Islam wa Madris Al-Gharb, hal. 37-54
[7] Fazlur Rahman, Major Themes Of The Qur’an, (Kuala Lumpur : Islamic Book Trust, 1999), hal. 83
[8] Prof. Dr. H. Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta, Pt Raja Garfindo Persada, 2003), hal. 70
[9] Op. cit, Said Aqil Siroj, hal. 59-60
[10] Op. cit , Osman Bakar, hal. 74
[11] Achmad Baiquni, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 9-62
[12] Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta : Sisi-Sisi Al-Qur’an Yang Terlupakan, (Bandung : Mizan, 2008) , hal. I88-194
[13] Op, cit, Osman Bakar, hal. 74
[14] ibid. hal. 74
[15] Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan Dan Kesucian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997). Terj. Suharsono, dkk dari judul asli Knowledge And The Cecred, hal. 2
[16] Ibid. hal. 3
[17] Ibid. hal. 357
[18] M. Amin Abdullah, Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epitemologi Keilmuan Umum Dan Agama, (Yogyakarta : SUKA Press, 2004, hal. 11
[19] Prof. Dr. H. Jalaludin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2011). Hal. 27
[20] Ibid. hal. 28
[21] ibid. hal. 29
[22] Ibid. hal. 36
[23] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta : Rajawali Press, 2011).
[24] Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), hal. 127-134
[25] A. Jisr, Para Pencari Tuhan:Dialog Al-Quran dalam Filsafat, Filsafat dan Sains dalam Bingkai Keimanan, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2001), hal. 470

Tidak ada komentar:

Posting Komentar