HUBUNGAN
SAINS DAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF NORMATIF DAN FILOSOFIS
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Islam
dan Sains, dua kata berbeda yang mempunyai makna berbeda pula. Islam yang
berasal dari kata "salama" berarti mengandung selamat dan penyerahan
diri secara penuh pada syariatnya. Sedangkan sains yang merupakan bagian dari
'ilm dapat dipahami sebagai ilmu alam yang dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam
sains sebagian orang menganggap pembuktian kebenaran itu harus dapat dilakukan
dengan metodologi yang sistematis, maka sebagian yang lain memahami bahwa agama
atau Islam kebenarannya adalah berdasar pada keyakinan adanya sang Ghaib yang
"mengada" segala sesuatu yang "ada" di dunia ini.[1]
Sains
dalam formulasi tauhid, termasuk ke dalam narasi kalimat seperti berikut: “Manusia
memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui berbagai cara dan
jalan. Tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan yang Maha
mengetahui.[2]
Islam
memandang pengetahuan sebagai cara yang paling utama bagi penyelamatan jiwa dan
pencapaian kebahagiaan serta kesejahteraan manusia dalam kehidupan kini dan
nanti. Dalam pengertian yang sederhana, tauhid berarti keesaan tuhan. Tauhid
merupakan formulasi kepercayaan atau keyakinan tentang Tuhan yang tunggal pada
berbagai aspek dan dimensinya.[3]
1.2 Rumusan
masalah
- Apakah pengertian Tauhid menurut Islam?
- Bagaimana hubungan Sains dan Islam berdasarkan persfektif Normatif?
- Bagaimana hubungan Sains dan Islam berdasarkan perspektif Filosofis?
II.
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Tauhid Menurut Islam
Ilmu tauhid adalah ilmu yang
membahas pengokohan keyakinan-keyakinan agama Islam dengan dalil-dalil naqli
maupun aqli yang pasti kebenarannya sehingga dapat menghilangkan semua keraguan
atau ilmu yan di sebut tentang mengESAkan Allah.
Tauhid merupakan formulasi
kepercayaan atau keyakinan tentang Tuhan yang tunggal pada berbagai aspek dan
dimensinya. Dengan tauhid, timbul pengakuan, bahwa Allah Maha Pencipta
segalanya. Tauhid mendorong manusia untuk menguasai dan memanfaatkan alam
karena sudah dituntukkan untuk manusia. Perintah mengesakan Tuhan dibarengi
dengan cegahan mempersekutukan Tuhan. Jika manusia mempersekutukan Tuhan,
berarti ia dikuasai oleh alam, padahal manusia adalah yang harus menguasai alam
karena alam telah ditundukkan oleh Allah. [4]
Dalam disiplin keilmuan tradisional Islam,
tauhid berada dalam posisi sejajar dengan fikih, tasawuf dan falsafah.[5]
Tauhid bersama fikih, tasawuf dan falsafah berkembang menjadi empat pilar
keilmuan yang diakui sebagai aspek tak terpisahkan dari keberadaan Islam sebabagi
sistem ajaran. Kehadiran secara bersama empat pilar keilmuan tersebut
memungkingkan terbentuknya tatanan kehidupan yang menjujung tinggi etika. Jika
ahlaq al-karimah merupakan “mahkota” dalam humanisme Islam. [6]
Maka tauhid, fikih, tasawuf dan falsafah merupakan pilar penyanggah terwujudkan
ahlaq al-karimah. Namun telaah secara saksama membawa kita pada kesimpulan,
bahwa tauhid justru yang berperan besar sebagai landasan pijak perkembangan
berbagai disiplin keilmuan tradisional Islam. Bahkan, tauhid merupakan faktor
penentu perkembangan sains di dunia Islam selama sekitar abad ke-7 hingga abad
ke-13.
Dalam
pengertiannya yang sederhana, “tauhid” berarti keesaan Tuhan. Tauhid merupakan
formulasi kepercayaan atau keyakinan tentang Tuhan yang tunggal pada berbagai
aspek dan dimensinya. Tauhid memiliki kesamaan makna dengan monoteisme.[7]
Maka, sesuatu yang benar-benar doktrinal dalam ajaran Islam ialah Tuhan dalam
kategori oneness, uniqueness dan transcendence. Secara demikian, Tuhan
merupakan eksistensi yang berbeda dengan segala bentuk eksistensi yang dapat
dikenal atau dapat diimajinasikan manusia. Allah Maha Besar (Allahu Akbar),
misalnya, merupakan konsepsi tentang Tuhan yang indefinite atau yang tak
terbatas kebesarannya serta tak dapat ditandingi oleh kedahsyatan benda, materi
atau wujud apa pun dalam realitas hidup manusia. Dengan tauhid, timbul
pengakuan, bahwa Allah Maha Pencipta segalanya. Begitu artikulatifnya
monoteisme dalam ajaran Islam, sampai-sampai muncul konstatasi dalam Al Qur’an,
bahwa sesungguhnya “manusia menurut fitrahnya beragama tauhid” (Q.S. [Ar-Rum]
30:30).
Konsekuensi
dari tauhid adalah bahwa manusia harus menguasai alam dan haram tunduk kepada
alam. Menguasai alam berarti menguasai hukum alam dan dari hukum alam ini, ilmu
pengetahuan dan teknologi dikembangkan.[8]
2.2
Hubungan Sains Dan Islam Dalam Perspektif Normatif
Islam dan Sains, dua kata berbeda
yang mempunyai makna berbeda pula. Islam yang berasal dari kata
"salama" berarti mengandung selamat dan penyerahan diri secara penuh pada
syariatnya. Sedangkan sains yang merupakan bagian dari 'ilm dapat dipahami
sebagai ilmu alam yang dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam sains sebagian
orang menganggap pembuktian kebenaran itu harus dapat dilakukan dengan
metodologi yang sistematis, maka sebagian yang lain memahami bahwa agama atau Islam
kebenarannya adalah berdasar pada keyakinan adanya sang Ghaib yang
"mengada" segala sesuatu yang "ada" di dunia ini.
Hal dasar yang kemudian menarik
ditelaah sebagai konsekuensi logis dari ajaran tauhid ialah perkembangan sains,
sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah Islam selama kurun waktu abad ke-7
hingga abad ke-13. Dengan berpijak pada perspektif tauhid, dinamika
perkembangan Islam selama kurun waktu tersebut benar-benar diwarnai oleh
besarnya perhatian terhadap sains. Bagaimana ajaran tauhid memiliki hubungan
yang niscaya dengan perkembangan dan kamajuan sains, semuanya kembali pada
hakikat tauhid itu sendiri. Bahwa dengan tauhid, terbentuk pandangan dunia
(Weltanschauung) manusia yang menempatkan segenap hal ihwal di luar Tuhan Yang
Maha Esa sebagai sesuatu yang serba nisbi dan tak abadi. Kalimah La ilaha illa
Allah (tiada Tuhan selain Allah) memang merupakan pernyataan tauhid yang
singkat, namun maknanya mendalam dan memiliki dampak sosial-politik yang sangat
dinamis dan progresif. Melalui kalimah tauhid ini, semua bentuk dan jenis
kekuasaan apa pun di muka bumi haruslah dinegasikan. Hanya Allah, Tuhan yang
memiliki kekuasaan mutlak; selain-Nya bersifat nisbi. [9]
Dari sini, alam semesta lalu dimengerti
berdasarkan perspektif metafisika yang begitu spesifik, yaitu sebagai realitas
yang relatif, dan karena itu dapat diberlakukan sebagai bentangan ontologis
untuk melakukan observasi, eksperimentasi, penelitian dan bahkan menjadi basis
untuk membangun serangkaian hipotesis. Mengingat alam semesta bukan sesuatu
yang suci—dibandingkan kesucian Tuhan sebagaimana ditekankan dalam ajaran
tauhid—maka alam semesta dengan mudahnya “diotak-atik” sebagai dasar untuk
membangun dan atau menciptakan ilmu pengetahuan. Dengan tauhid, tak ada kendala
teologis untuk menyingkapkan hakikat alam semesta.
Tauhid sebagai landasan pijak
pengembangan sains dapat dilacak geneologinya pada terbentuknya konsepsi
tentang Tuhan dalam pengertian yang spesifik. Bahwa Tuhan adalah pengetahuan
tentang alam semesta sebagai salah satu efek tindak kreatif Ilahi.[10]
Pengetahuan tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, antara Pencipta dan
ciptaan, atau antara prinsip Ilahi dengan manifestasi kosmik, merupakan basis
paling fundamental dari kesatuan antara sains dan pengetahuan spiritual.
Berilmu pengetahuan menurut Islam lalu sama dan sebangun maknanya dengan: (i)
Menyatakan ketertundukan pada tauhid, dan (ii) elaborasi pemahaman secara
saitifik terhadap dimensi-dimensi kosmik alam semesta. Itulah mengapa, Al
Qur’an kemudian berperan sebagai sumber intelektualitas dan spiritualitas Islam.[11]
Al Qur’an berfungsi sebagai basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan
spiritual, tetapi bagi semua jenis pengetahuan. Al Qur’an sebagai kalam Allah
merupakan sumber utama inspirasi pandangan Muslim tentang keterpaduan sains dan
pengetahuan spiritual.[12]
Gagasan keterpaduan ini bahkan merupakan konsekuensi dari gagasan keterpaduan
semua jenis pengetahuan. [13]
Sains dalam formulasi tauhid,
termaktub ke dalam narasi kalimat seperti berikut: “Manusia memperoleh
pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui berbagai cara dan jalan. Tetapi
semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan yang Maha mengetahui.
Menurut pandangan Al Qur’an, pengetahuan manusia tentang benda-benda maupun
hal-hal ruhaniah menjadi mungkin karena Tuhan telah memberinya
fakultas-fakultas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Banyak filosof dan ilmuwan
Muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia
mendapatkan pencerahan dari akal Ilahi”.[14]
Sains dalam formulasi tauhid yang sedemikian rupa itu menegaskan satu hal,
bahwa ilmu pengetahuan, filsafat dan berbagai hal yang terkait dengan semua itu
sesunguhnya berada di wilayah Ketuhanan. Manusia takkan mampu menguasai semua
itu jika dan bilamana tak ada kehendak untuk masuk ke dalam wilayah Ketuhanan.
Dan hanya dengan tauhid manusia mampu menyentuh, mengetuk serta masuk ke dalam
wilayah Ketuhanan yang di dalamnya terdapat khazanah ilmu yang tak terbatas
(Q.S. [Thaahaa] 20: 114).
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan
yang berada di wilayah Ketuhanan, Nasr (1997) menggunakan istilah yang tepat: scientia sacra.
Istilah ini digunakan untuk mengingatkan bahaya desakralisasi yang sedemikian
jauh menghantam dan memporak-porandakan ilmu pengetahuan.[15]
Desakralisasi dapat disimak ke dalam perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan,
yaitu sejak sekitar permulaan abad ke-17. Padahal, sampai kapanpun, sains tetap
bersemayam di dalam wilayah Ketuhanan. Persis sebagaimana termaktub ke dalam
ajaran tauhid, hanya Tuhan yang merupakan sumber lahirnya ilmu pengetahuan.
Siapa pun manusia, memang memiliki kebebasan untuk mempelajari disiplin ilmu
pengetahuan apa pun serta mengembangkan sains apa pun. Tetapi manakala tak
mendaptkan restu dari Tuhan, maka upaya memahami ilmu pengetahuan dan sains
bakal melalui jalan berliku yang rumit. Upaya saksama memelihara tauhid, dengan
sendirinya merupakan kehendak untuk menjaga agar manusia terus-menerus berilmu
pengetahuan.
Tauhid sebagai sumber kelahiran
sains lalu memiliki makna yang dalam untuk menyelamatkan manusia dari
kehancuran akibat kemajuan sains itu sendiri. Jalan manusia untuk menggapai
ilmu pengetahuan dimulai dari adanya pengakuan bahwa niscaya bagi manusia untuk
mengakui adanya yang absolut.[16]
Scientia sacra membawa manusia pada kebebasan dari semua kunkungan. Sebab,
Yang Suci itu tidak lain adalah Tak Terbatas dan Abadi. Sementara, semua
kungkungan dihasilkan dari kelalaian yang mewarnai realitas akhir dan tak dapat
direduksi menjadi keadaan kosong sama sekali dari kebenaran.[17]
Hubungan antara sains dalam
perspektif Islam yaitu Islam memberi kebebasan kepada para sainistik untuk
mengkaji. Sains Islam menjadikan wahyu sebagai sumber rujukan yang tertinggi.
Dalam etika yang lain, dalam Islam, wahyu mengatasi akal karena wahyu datang
daripada kuasa tanpa batas sedangkan akal terbatas, dan sains tidak boleh
mengatasi wahyu. Oleh karena itu, sains dalam Islam adalah sains yang
berkonsepkan tauhid. Sains dalam Islam tunduk kepada prinsip-prinsip yang
ditetapkan Allah melalui rasulnya. Sains dalam Islam tunduk kepada al-Quran.[18]
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa
hubungan sains dan Islam dalam perspektif normatif adalah Islam sebagai sumber dari ilmu
pengetahuan. Al-Qur’an dijadikan landasan dan pedoaman dalam pengembangan
sains. Sains membuktikan kebenaran yang ada dalam Al-Quran. Islam tidak pernah
mengekang umatnya dalam kemajuan kearah yang lebih modern. Islam sangat
mendukung umatnya melakukan penelitian, percobaan dan memerintahkan manusia
memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah.
“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan Ini dengan sia-si. Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari
siksa neraka. QS. Ali-Imran: 190-191).
Melalui ayat-ayat di atas Allah
memerintahkan kita manusia untuk mengembangkan, mengali, mengamati, apa yang
ada di alam semesta ini. Al-Quran dan Sains yang sejalan dan searah tentu dapat
dijadikan pedoman bagi manusia.
2.3
Hubungan Sains dan Islam Dalam Perspektif Filosofis
Kebenaran itu telah ada sebelum
manusia ada. Sebab kebenaran sendiri berada di luar alam manusia. Kebenaran itu
suatu ensensi, suatu hakikat, suatu ide yang mendahului manusia yang
membutuhkannya. Memang dalam pendekatan sejarah peradaban Barat diakui, kaum
filsuf dinilai sebagai pelopor pencari kebenaran. Kaum filsuf ditempatkan pada
kedudukan sebagai sosok yang cinta (philosphilre) kebenaran (Sophia). Kebenaran
yang dihasilkan oleh para filsuf adalah kebenaran yang didasarkan pada penilaian
menurut nalar manusia.[19]
Dalam kajian filsafat, umumnya ada
tiga teori yang digunakan, yaitu teori keherensi, teori korespondasi, dan teori
pragmatis. (Suriasumantri,1990). Sebelumnya sudah di kemukakan ketiga teori ini
memiliki pandangan-pandangannya kepada sebab-sebab terdekat, melainkan kepada
mengapanya yang terakhir, sepanjang kemampuan yang ada dapat dicapai oleh akal
budi manusia. (Barbadib,1994). Karakteristik pemikiran filsafat yang bersifat
menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. (Suriasumantri,1990). Semuanya ini
melukiskan faktor keterbatasan kemampuan akal budi (rasio) manusia. Maka wajar
bila kebenaran filsafat bersifat spekulatif.[20]
Dalam tradisi keilmuan barat, memang
“perseteruan” antara filsafat dan agama, sudah berlangsung cukup lama. Sejak
zaman Yunani Kuno, filsafat berbenturan dengan tradisi mitologi. Pada Abad
Pertengahan, para filsuf dihadapkan pada nilai-nilai dogmatis gereja. Kasus
yang dialami Galileo Galilei (1564-1642) adalah bagian dari benturan pemikiran
filsafat dan dogmatis teologis. Teori heliosentris yang dikemukakan Galileo
Galilei dinilai bertentangan dengan pendapat gereja yang menganut teori
ptolemaeus, yaitu bahwa bumi adalah pusat jagad. Galilei dihukum tahanan rumah
hingga akhir hidupnya.[21]
Ajaran Islam sarat akan nilai-nilai
ajaran yang bersumber informasi Kitab Suci Al-Qur’an, maupun pernyataan dalam
sabda Rasul Allah Saw. Jadi sebenarnya, problema pelik kefilsafatan maupun
keilmuan yang dihadapi ilmuan Barat, sama sekali tidak terjadi di kalangan
filsuf maupun ilmuan Muslim. Aktivitas rasio dengan nilai-nilai ajaran berjalan
seiring. Malahan nilai-nilai ajaran agama memotivasi pengembangan aktivitas
manusia. Alam Islam hakikat kebenaran tidak dirujuk dari produk akal manusia,
melainkan dari sumber wahyu.
Apa yang dikemukakan oleh Toshihiko
Izutsu oleh ilmuwan Muslim dikenal sebagai ayat-ayat Qur’aniyah dan ayat-ayat
Kauniyah. Di sini terlihat, bahwa sesungguhnya pemikiran filsafat terlihat
sejalan dengan pemikiran agama. Keduanya tidak perlu di pertentangkan.
Pemikiran filsafat mengarah pada perenungan wujud ciptaan Tuhan yang ada di
alam (ayat non-verbal), sedangkan agama mengacu kepada perenungan terhadap
ayat-ayat Tuhan yang verbal (kalam Allah), dan sekaligus yang non-verbal (wujud
ciptaan di alam raya). Keduanya menyatu pada perenungan terhadap hakikat
kebenaran yang bersumber dari Sang Maha Pencipta.[22]
Filsafat sering disebut sebagai
induk dari semua ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan memperlihatkan
bahwa ilmu pengetahuan berasal dan berkembangan dari filsafat. Sebelum ilmu
pengetahuan lahir filsafat telah memberikan landasannya yang kuat. Para filsuf
Yunani klasik seperti Demokratis sampai tiga serangkai guru dan murid yang
sangat terkenal Socretes, Plato, dan Aristoteles telah berbicara tentang atom,
naluri, emunisi, bilangan dan ilmu hitung (matematika), demokrasi, sistem
pemerintahanan dan kemasyarakat, yang kemudian dikembangan oleh fisika,
biologi, ilmu budaya, psikologi, sosiologi, dan ilmu politik.
Kedudukan filsafat dan hubunganya
dengan ilmu pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut: [23]
- Tujuan filsafat untuk memahami hakikat dari sesuatu objek yang menjadi kajiannya tetap dipertahankan, tetapi inforrmasi atau pengetahuan yang menunjangnya harus dipertanggungjawabkan bukan hanya rasional (logis), tetapi juga secara faktual (dialami secara langsung dalam kehidupan nyata). Oleh sebab itu, filsafat (harus) mengadakan kontak dengan ilmu pengatahuan, mengambil banyak informasi atau teori-teori terbaru darinya,dan mengembangkan secara filsafati.
- Tujuan filsafat untuk mempersoalkan nilai dari suatu objek (aksiologi) tetap dipertahankan. Hal ini pun dilakukan filsafat terhadap ilmu pengatahuan. Akibatnya adalah bahwa temuan-temuan ilmiah yang dinilai tidak sesuai denagn nilai-nilai kemanusian (dan juga ketuhanan), diberi kritik atau dikoreksi.
- Filsafat pun melakukan kajian dan kritik terhadap persoalan-persoalan metodologi ilmu pengetahuan. Ini misalnya dilakukan dalam filsafat ilmu pengatahuan.
Antara
filsafat dan ilmu memiliki persamaan, dalam hal bahwa keduanya merupakan hasil
ciptaan dan kegiatan pikiran manusia yaitu berpikir filosofis, spekulatif, dan
empiris ilmiah. Perbedaan antara keduanya, terutama untuk filsafat menentukan
tujuan hidup dan ilmu menentukan sarana untuk hidup.[24]
Sejarah umat manusia sesungguhnya
tidak pernah sunyi dari para pencari tuhan. Dengan dorongan sifat fitri
keimanan (religionitas), umat manusia melakukan pencarian tuhan yang
sebenarnya. Bagi sebagaian orang, agama memang menjadi jawaban. Namun demikian,
sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun silam, dunia telah diramaikan oleh para
filsuf yang selalu terlibat dalam diskursus ketuhanan (teologi), bahkan dalam
wacana asal-usul alam semesta (ontologi) dan ilmu pengetahuan (epistemologi).
Manusia menjalani liku-liku
perjalanan dalam upaya mencari tuhan. Sebagian besar dari mereka benar-benar
menemukan tuhan. Akan tetapi, sebagian lainnya terlena dalam igauan yang tak
jelas ketika mencoba memaksakan diri untuk menjangkau esensi tuhan yang
sesungguhnya. Mereka terlalu jauh mengembara di belantara metafisisme, sehingga
tak sedikit yang masuk ke dalam perangkat skeptisime, bahkan ateisme. Menurut
al-Jisr (2001) dalam konteks agama sikap ini tentu saja kontraproduktif,
sekaligus kontraproduktif dengan semangat keagamaan yang selalu memerintahkan
manusia untuk memikirkan hal-hal yang indrawi dan rasional ketika berbicara
tentang eksistensi, bukan esensi tuhan sebagai pencipta (al-khaliq).[25]
Namun demikian, kontribusi filsafat
dan ilmu dalam mengantarkan keimanan kepada tuhan bukannya tidak ada. Dalam
batas-batas tertentu, filsafat dan ilmu biasa mendukung berbagai bukti
kebenaran eksistensi dan kekuasaan dan kekuasaan tuhan yang telah banyak
diungkap oleh agama.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tauhid adalah ilmu yang membahas
keyakinan-keyakinan yang di anut oleh suatu umat dan keyakinan tentang Tuhan
yang tunggal pada berbagai aspek dan dimensinya. Ajaran tauhid memiliki
hubungan dengan perkembangan dan kamajuan sains, bahwa dengan tauhid terbentuk
pandangan dunia (Weltanschauung) manusia yang menempatkan segenap hal ihwal di
luar Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang serba nisbi dan tak abadi. Tauhid sebagai landasan pijak untuk memajukan sains
masih mungkin dilakukan umat Islam kini dan di masa depan.
Ajaran Islam sarat akan nilai-nilai
ajaran yang bersumber informasi Kitab Suci Al-Qur’an, maupun pernyataan dalam
sabda Rasul Allah Saw. Jadi sebenarnya, problema pelik kefilsafatan maupun
keilmuan yang dihadapi ilmuan Barat, sama sekali tidak terjadi di kalangan
filsuf maupun ilmuan Muslim. Aktivitas rasio dengan nilai-nilai ajaran berjalan
seiring. Malahan nilai-nilai ajaran agama memotivasi pengembangan aktivitas
manusia. Alam Islam hakikat kebenaran tidak dirujuk dari produk akal manusia,
melainkan dari sumber wahyu.
Filsafat sering disebut sebagai
induk dari semua ilmu pengtahuan. Sejarah ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa
ilmu pengetahuan berasal dan berkembangan dari filsafat. Sebelum ilmu
pengetahuan lahir filsafat telah memberikan landasannya yang kuat. Kontribusi
filsafat dan ilmu dalam mengantarkan keimanan kepada tuhan bukannya tidak ada.
Dalam batas-batas tertentu, filsafat dan ilmu biasa mendukung berbagai bukti
kebenaran eksistensi dan kekuasaan dan kekuasaan tuhan yang telah banyak
diungkap oleh agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. (2004). Etika
Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama.
Yogyakarta: SUKA Press.
Abidin, Z. (2011). Pengantar
Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Press.
Baiquni, A. (1995). AL-Qur'an,
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Jalaludin. (2003). Teologi
Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jalaludin. (2011). Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Jisr, A. (2001). Para Pencari
Tuhan:Dialog Al-Quran dalam Filsafat, Filsafat dan Sains dalam Bingkai
Keimanan. Bandung: Pustaka Hidayah.
Madjid, N. (1995). Islam,
Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan,
Keislaman, Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Nasr, S. H. (1997). Pengetahuan
dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. terjemahan Suharsono, dkk. dari
judul asli Knowledge and th Cecerd.
Purwanto, A. (2008). Ayat-ayat
Semesta:Sisi-sisi Al-Qur'an yang Trelupakan. Bandung: Mizan.
Rahman, F. (1999). Major Themes
of the Qur'an. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Siroj, S. A. (2006). Tasawuf
sebagai Kritik Sosial:Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi,Bukan spirasiA.
Bandung : Mizan.
Susanto. (2011). Filsafat Ilmu.
Jakarta: Bumi Aksara.
Syari'ati, A. (1992). Humanisme:
Antara Islam dan Mahzab Barat. Jakarta: Pustaka Hidayah. terj. Afif
Muhammad dari judul asli Al-Insan, aL-Islam wa Madaris Al-Gharb.
[1]
Osman
Bakar, Tauhid Dan Sains, (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1991), hal. 74
[2]
Said
Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006), hal.
59
[5]
Nurcholish
Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusian, Dan Kemodernan, (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina,
Cetakan Ke-3, 1995), hal. 177-285
[6]
Ali
Syari’ati, Humanisme: Antara Islam Dan Mahzab Barat, (Jakarta: Pustaka
Hidayah,1992) terj. Afif Muhammad dari judul asli Al-Insan, Al-Islam wa Madris
Al-Gharb, hal. 37-54
[7]
Fazlur
Rahman, Major Themes Of The Qur’an, (Kuala Lumpur : Islamic Book Trust,
1999), hal. 83
[8]
Prof.
Dr. H. Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta, Pt Raja Garfindo
Persada, 2003), hal. 70
[11]
Achmad
Baiquni, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, (Jakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1995), hal. 9-62
[12]
Agus
Purwanto, Ayat-Ayat Semesta : Sisi-Sisi Al-Qur’an Yang Terlupakan,
(Bandung : Mizan, 2008) , hal. I88-194
[15]
Seyyed
Hossein Nasr, Pengetahuan Dan Kesucian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1997). Terj. Suharsono, dkk dari judul asli Knowledge And The Cecred, hal. 2
[18]
M.
Amin Abdullah, Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epitemologi Keilmuan
Umum Dan Agama, (Yogyakarta : SUKA Press, 2004, hal. 11
[19]
Prof.
Dr. H. Jalaludin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia,
2011). Hal. 27
[23]
Zainal
Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta : Rajawali Press, 2011).
[24] Susanto,
Filsafat Ilmu, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), hal. 127-134
[25]
A.
Jisr, Para Pencari Tuhan:Dialog Al-Quran dalam Filsafat, Filsafat dan Sains
dalam Bingkai Keimanan, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2001), hal. 470
Tidak ada komentar:
Posting Komentar